Yogyakarta – Mahasiswa Program Studi Magister Manajemen dan Kebijakan Publik (MKP) FISIPOL UGM mengadakan kunjungan lapangan ke Balai Rehabilitasi Sosial Pengasuhan Anak (BRSPA) pada hari Kamis, 25 September 2025 sebagai bagian dari mata kuliah Kebijakan Sosial. Dalam sesi diskusi yang mendalam, Pekerja Sosial BRSPA, Feriawan Agung Nugroho, S.Sos., MPA., menekankan bahwa intervensi kebijakan sosial yang efektif harus menyentuh akar permasalahan di tingkat keluarga, bukan sekadar berfokus pada rehabilitasi anak sebagai individu yang terisolasi.




Kunjungan yang didampingi oleh dosen pengampu Dr. Ambar Teguh Sulistiyani dan Dr. Agustinus Subarsono ini membuka wawasan mahasiswa tentang realitas di lapangan. Feriawan menegaskan sebuah filosofi mendasar yang menjadi panduan kerja lembaganya. “Sebaik-baik pengasuhan adalah di keluarga,” ujarnya. Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa tujuan akhir dari rehabilitasi sosial bukanlah menahan anak di panti secara permanen, melainkan mengupayakan reintegrasi ke lingkungan keluarga yang sehat dan aman, baik itu keluarga asal, kerabat, maupun keluarga asuh baru yang telah melalui proses evaluasi ketat.
Kolaborasi Lintas Sektor sebagai Kunci Penyelesaian Masalah
Salah satu tantangan terbesar dalam sistem perlindungan anak saat ini adalah fragmentasi kebijakan dan implementasi. Feriawan menyoroti urgensi kolaborasi yang solid antarlembaga untuk dapat menyelesaikan masalah secara tuntas. Menurutnya, penanganan anak tidak bisa dilepaskan dari intervensi terhadap keluarganya.
“Perlunya kolaborasi antar lembaga untuk menyelesaikan masalah keluarganya juga, menyelesaikan akar masalahnya, bukan hanya menangani anaknya saja,” tegas Feriawan. Ia memaparkan alur kerja ideal di mana Dinas Sosial melakukan intervensi di tingkat keluarga, sementara BRSPA fokus pada rehabilitasi anak. Model kerja sinergis ini memastikan bahwa saat anak telah pulih dan siap kembali, lingkungan keluarganya juga telah diperbaiki dan siap untuk menerimanya.
Namun, diakui bahwa praktik di lapangan tidak selalu mulus. “Tantangan BRSPA saat ini adalah birokrasi untuk kerjasama yang masih ribet, gemuk, dan belum adanya roadmap yang jelas tentang penanganan kekerasan anak, ketelantaran, dan anak jalanan,” ungkapnya. Ketiadaan peta jalan yang terintegrasi ini menyebabkan setiap lembaga seringkali berjalan sendiri-sendiri, sehingga penanganan menjadi tidak komprehensif dan berisiko membuat anak kembali ke lingkungan toksik yang sama.
Memahami Kompleksitas Trauma dan Tantangan SDM
Diskusi juga menyoroti kompleksitas dampak psikologis yang dialami anak-anak korban kekerasan. Feriawan membagikan sebuah realita yang mengejutkan dan seringkali disalahpahami oleh masyarakat awam. “Anak korban seksual justru akan kecanduan seks, trauma seksual, bahkan bisa mengunggah foto dia sendiri dan mengajak orang lain,” jelasnya. Fakta ini menunjukkan bahwa penanganan trauma memerlukan pendekatan psikologis yang sangat mendalam dan spesifik, bukan sekadar pengasuhan biasa.
Untuk membangun kembali kepercayaan dan melakukan intervensi lanjutan, pendekatan yang humanis menjadi kunci. “Kelekatan, kedekatan. Gimana caranya kita bisa mengerti mereka dan mereka mengerti kita, sehingga kita bisa melakukan penanganan lanjutan,” tambahnya.
Di tengah kompleksitas kasus yang ditangani, BRSPA menghadapi tantangan sumber daya manusia yang signifikan. Feriawan menyebutkan bahwa rasio ideal pekerja sosial (peksos) dengan klien adalah 1 banding 10. Namun, di BRSPA, jumlah peksos yang tersedia hanya dua orang, sebuah angka yang sangat jauh dari ideal untuk memberikan pendampingan yang intensif dan berkualitas.
Menggeser Paradigma: Dari Pahlawan Menjadi Pelayan yang Bersyukur
Di akhir sesi, Feriawan memberikan sebuah refleksi kuat yang ditujukan tidak hanya bagi para calon pembuat kebijakan, tetapi juga bagi masyarakat umum. Ia mengajak untuk mengubah cara pandang saat berinteraksi dengan panti asuhan atau melakukan kegiatan sosial.
“Ketika Anda berkunjung ke panti asuhan, jangan merasa mereka yang membutuhkan kalian lalu merasa menjadi pahlawan karena memberikan barang-barang. Tapi tanamkan bahwa kalianlah yang perlu menemui mereka karena kalian harus bersyukur bahwa banyak yang hidupnya tidak sebaik Anda,” pesannya.
Pesan ini menggarisbawahi pentingnya empati yang tulus dan kerendahan hati, serta mengingatkan bahwa kebahagiaan sejati dalam mengasuh tidak bersumber dari materi, melainkan dari rasa cinta. Kunjungan lapangan ini memberikan pelajaran berharga bagi mahasiswa MKP UGM, bahwa merancang kebijakan sosial yang efektif membutuhkan pemahaman mendalam tidak hanya pada aspek teknis dan birokratis, tetapi juga pada dimensi kemanusiaan yang paling fundamental.
Penulis & Foto: Fahri


