Yogyakarta – Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik (DMKP) FISIPOL UGM menggelar Kuliah Tamu yang menghadirkan Walikota Yogyakarta, Dr. (H.C.) dr. H. Hasto Wardoyo, Sp.OG (K), pada Senin, 29 September 2025 dalam Mata kuliah Kepemimpinan dan Inovasi Sektor Publik serta Mata Kuliah Pengantar Studi Organisasi. Di hadapan mahasiswa program studi S1 Manajemen dan Kebijakan Publik, Dr. Hasto memaparkan visinya dalam membangun kota dengan pendekatan yang ia sebut sebagai diagnosis klinis terhadap masalah publik. Menurutnya, masa depan Yogyakarta yang tidak memiliki sumber daya alam bergantung sepenuhnya pada kualitas sumber daya manusia (SDM) yang unggul, kemandirian ekonomi, dan sebuah revolusi mental yang fundamental.

Dalam acara yang diselenggarakan di Ruang Seminar MAP FISIPOL UGM, Dr. Hasto menekankan bahwa posisinya sebagai pemimpin daerah tidak lepas dari latar belakangnya sebagai seorang dokter. Pendekatan ini menuntut diagnosis yang mendalam sebelum merumuskan sebuah “resep” atau kebijakan. “Sebagai dokter, saya baru mendiagnosis,” ujarnya, seraya mengibaratkan proses perumusan kebijakan seperti mengasah pisau selama tujuh hari untuk menebang pohon dalam sehari, sebuah metafora untuk pentingnya persiapan dan analisis matang sebelum bertindak. Diagnosis utamanya adalah Yogyakarta berada di persimpangan jalan yang krusial, di mana jendela bonus demografi akan segera tertutup, menuntut adanya perubahan radikal dalam cara pandang dan bertindak untuk mengamankan masa depan kota.

Mendiagnosis Kota: Ancaman “Menua Sebelum Kaya” dan Urgensi Peningkatan Kualitas SDM

Dr. Hasto memaparkan analisis tajam mengenai tantangan demografi yang dihadapi Yogyakarta dan Indonesia secara umum. Ia menyoroti periode bonus demografi, di mana rasio ketergantungan penduduk berada di titik terendah, sebagai satu-satunya jendela kesempatan untuk keluar dari jebakan negara berpenghasilan menengah (middle income trap). “Kalau kita mau sukses keluar dari jebakan middle income trap, hari ini waktunya. Kalau tidak hari ini kapan lagi, kalau nggak oleh kita oleh siapa lagi,” tegasnya.

Kekhawatiran terbesarnya adalah fenomena yang ia sebut growing old before growing rich atau “menua sebelum kaya”. Yogyakarta, dengan populasi lansia yang telah mencapai 16%, tertinggi di Indonesia, berada di garis depan ancaman ini. Dr. Hasto membandingkan kondisi Indonesia saat ini dengan Jepang pada tahun 1950, yang berhasil memanfaatkan bonus demografinya untuk menjadi kekuatan ekonomi dunia dalam 20 tahun. Hal serupa juga dicapai oleh Korea Selatan dan Singapura. Kegagalan memanfaatkan momentum ini, menurutnya, akan menjebak Yogyakarta dalam kondisi di mana populasi menua tanpa sempat mencapai tingkat kesejahteraan yang tinggi.

Salah satu paradoks yang diungkap adalah tingginya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) atau Human Development Index (HDI) Yogyakarta, yang mencapai angka 80 dan menjadi yang tertinggi di Indonesia. Namun, ia mengingatkan agar tidak berpuas diri. “Yogyakarta itu tertinggi di Indonesia urusan human development index… tapi nggak usah tepuk tangan dulu,” ujarnya. Hal ini karena ketika diukur dengan Human Capital Index (HCI) yang dirilis Bank Dunia, sebuah indikator yang lebih akurat mengukur produktivitas dan potensi ekonomi SDM dengan memperhitungkan faktor kesehatan seperti stunting, Indonesia masih berada di peringkat 96 dengan skor 0.54. Perbedaan ini menunjukkan bahwa meskipun masyarakat Yogyakarta memiliki harapan hidup dan tingkat pendidikan yang tinggi, kualitas kesehatan dan produktivitas riilnya masih menjadi tantangan besar yang harus diatasi.

Filosofi “Batu Ideologis”: Mendobrak Tatanan Melalui Kebijakan Berbasis Kemandirian

Sebagai “resep” atas diagnosis tersebut, Dr. Hasto menawarkan filosofi ekonomi berdikari (berdiri di atas kaki sendiri) yang ia terapkan secara radikal selama menjabat sebagai Bupati Kulon Progo. Ia mengkritik keras mentalitas konsumtif dan ketergantungan pada produk impor yang menyebabkan terjadinya capital flight, di mana uang masyarakat lokal tersedot keluar dari daerah. “Kita itu semua apa saja beli beli, impor itu,” kritiknya, seraya menyindir fenomena “dorong pecus ke selak besus,” yakni keinginan untuk bergengsi (prestis) sebelum mampu berprestasi.

Untuk melawan tren ini, ia memperkenalkan konsep-konsep kuat seperti “batu ideologis” dan “tempe ideologis”. Ketika penggunaan batu andesit lokal untuk proyek pemerintah dikritik karena kualitasnya yang dianggap kurang, ia menjawab, “Jangan cerewet, ini batu ideologis… karena ini batunya rakyat, uangnya larinya ke rakyat”. Konsep ini mengubah tindakan konsumsi dan produksi menjadi sebuah pernyataan politik yang berpihak pada ekonomi kerakyatan.

Filosofi ini diwujudkan dalam beberapa kebijakan terobosan di Kulon Progo, antara lain :

  • AirKu: Ia menantang Perusahaan Daerah Air Minum (PDAM) yang selama ini hanya menyalurkan air untuk menjadi produsen air minum dalam kemasan. Ia berkelakar bahwa jika tidak bisa memproduksi air minum, nama PDAM seharusnya diganti menjadi “Perusahaan Daerah Air Mandi”. Inisiatif ini berhasil melahirkan produk air minum lokal “AirKu”.
  • Tomira (Toko Milik Rakyat): Alih-alih melarang jaringan ritel modern seperti Alfamart dan Indomaret, ia membuat regulasi yang mewajibkan mereka untuk bermitra dengan koperasi lokal. Toko-toko tersebut kemudian diubah namanya menjadi “Tomira”, di mana kepemilikan dan keuntungan dibagi dengan masyarakat setempat.
  • Bela Beli Kulon Progo: Sebuah gerakan masif untuk mendorong ASN dan masyarakat agar memprioritaskan produk lokal, mulai dari beras yang dibeli dari petani lokal untuk program Bulog, hingga seragam batik buatan perajin setempat.

Kebijakan-kebijakan ini merupakan upaya sadar untuk menciptakan ekonomi sirkular atau closed-loop economy di tingkat lokal, memastikan uang yang beredar tetap berada di dalam daerah untuk mendorong pertumbuhan dan akumulasi modal secara kolektif.

Redefinisi Inovasi: Revolusi “Genotipe” di Atas Gimmick “Fenotipe”

Dr. Hasto juga menyampaikan kritik tajam terhadap pemahaman umum tentang inovasi di sektor publik. Menurutnya, banyak inovasi yang populer, seperti percepatan layanan pembuatan akta kelahiran, hanyalah sebuah gimmick atau “ilmu pengetahuan normal” (just normal science) yang tidak menyentuh akar persoalan. “Bagi saya tidak bangga itu… karena itu hanya ya gimmick-gimmick yang membuat populer tapi tidak mengatasi masalah,” ungkapnya.

Ia menawarkan analogi biologis yang kuat untuk menjelaskan pendekatannya: perbedaan antara “genotipe” dan “fenotipe”. Inovasi yang hanya memperbaiki tampilan luar atau efisiensi layanan adalah perbaikan pada level “fenotipe” (penampilan fisik). Namun, perubahan yang sejati dan berkelanjutan hanya bisa terjadi jika menyentuh “genotipe”, yaitu mindset atau cara berpikir masyarakat dan birokrasi. “Kalau kita sentuh gennya saja… udah langsung berubah,” jelasnya.

Oleh karena itu, ia memandang gerakannya sebagai kelanjutan dari revolusi yang belum selesai yang dicanangkan oleh Bung Karno, yakni sebuah revolusi mental. “Revolusi mental itu sebenarnya penting,” tegasnya. Baginya, mengubah mindset dari ketergantungan menjadi kemandirian, dari konsumen menjadi produsen, adalah inovasi yang paling fundamental dan berdampak jangka panjang.

Intervensi 1000 Hari Pertama: Membangun Generasi Unggul dari Hulu

Sebagai seorang dokter spesialis obstetri dan ginekologi, Dr. Hasto memberikan perhatian khusus pada pembangunan SDM dari titik paling hulu: 1000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yang terhitung sejak masa konsepsi hingga anak berusia dua tahun. Ia menjelaskan secara ilmiah bahwa 80% perkembangan otak manusia terjadi dalam periode krusial ini. Setelah ubun-ubun (fontanel) menutup pada usia sekitar dua tahun, potensi kognitif anak sebagian besar telah terbentuk.

Ia mengkritik budaya yang lebih mementingkan kemewahan pre-wedding daripada kesehatan pre-konsepsi. Menurutnya, calon orang tua seharusnya fokus memastikan kondisi kesehatan optimal sebelum kehamilan, seperti memastikan lingkar lengan atas calon ibu di atas 23.5 cm untuk mencegah stunting dan calon ayah memperbaiki kualitas sperma 75 hari sebelum konsepsi dengan nutrisi yang baik.

Lebih lanjut, ia menekankan bahwa 70% penyebab stunting adalah faktor sensitif, yaitu lingkungan, seperti kemiskinan, sanitasi buruk, dan air bersih, sementara faktor spesifik seperti asupan gizi langsung hanya berkontribusi 30%. Hal ini menjadi dasar ilmiah bagi program-programnya yang berfokus pada perbaikan lingkungan, seperti gerakan “Mas Jos” (Masyarakat Jogja Olah Sampah), yang bertujuan untuk menciptakan lingkungan hidup yang sehat bagi tumbuh kembang anak.

Dialog dengan Masa Depan: Menjawab Tantangan Globalisasi dan Produktivitas

Sesi tanya jawab dengan mahasiswa menjadi ajang untuk menguji penerapan gagasan Dr. Hasto dalam konteks tantangan kontemporer. Menjawab pertanyaan tentang bagaimana visi berdikari dapat bertahan di tengah arus globalisasi, ia menjelaskan bahwa strateginya bukanlah isolasionisme, melainkan integrasi yang cerdas. Model Tomira adalah contohnya: ia tidak menolak kehadiran ritel modern, tetapi merekayasa model bisnisnya agar memberikan keuntungan bagi ekonomi lokal.

Terkait tantangan mengubah mindset masyarakat yang feodal dan patriarkis, ia mengakui bahwa perubahan perilaku membutuhkan waktu yang sangat lama, bahkan setelah pengetahuan dan kesadaran terbentuk. Ia menceritakan pengalamannya di Kalimantan, di mana masyarakat sudah paham bahaya buang air besar di sungai tetapi secara kebiasaan masih sulit melakukannya di jamban. “Mentalnya di sini sudah oke, mindset di sini belum oke,” ujarnya, menekankan perlunya pendampingan dan proses yang berkelanjutan.

Untuk meningkatkan produktivitas masyarakat yang jam kerjanya masih rendah, ia membagikan filosofi manajemen waktu dengan menggunakan kuadran penting-mendesak dan metafora “melipat waktu” seperti kertas. Ia mendorong mahasiswa untuk mengisi waktu mereka dengan berbagai kegiatan produktif secara berlapis untuk memaksimalkan potensi diri.

Menuju Yogyakarta sebagai “Center of Excellence”: Panggilan bagi Pemimpin Masa Depan

Sebagai penutup, Dr. Hasto Wardoyo menyampaikan cita-cita besarnya untuk menjadikan Yogyakarta sebagai “center of excellent, center of referal untuk Indonesia”. Visi ini hanya dapat tercapai melalui pembangunan SDM yang unggul secara fundamental. Ia secara langsung memanggil para mahasiswa yang hadir sebagai generasi penerus yang akan menentukan nasib bangsa di masa depan. “Andalah pemimpin masa depan sebetulnya… UGM ini gudangnya pemimpin bangsa,” katanya, membangkitkan semangat para peserta.

Ia berpesan agar para calon pemimpin masa depan menjadi pribadi yang “antusias” didorong oleh tujuan yang luhur, bukan “ambisius” yang didorong oleh ego dan menghalalkan segala cara. Kuliah tamu ini tidak hanya memberikan wawasan tentang inovasi dan kepemimpinan sektor publik, tetapi juga menjadi sebuah panggilan untuk membangun bangsa dengan landasan ideologi, integritas, dan keberpihakan yang kuat pada rakyat.

Penulis & Foto: Fahri

advanced divider