Selasa, 30 Juli 2024, Departemen Manajemen dan Kebijakan Publik Universitas Gadjah Mada (UGM) bekerja sama dengan Australian National University (ANU) menyelenggarakan workshop internal bertajuk “Energy Transition in Public Policy”. Workshop ini dihadiri oleh sejumlah pakar dari kedua universitas, termasuk Prof. Deendarlianto dari Fakultas Teknik UGM, Dr. Gabriel Lele dari DMKP, Prof. Sara Bice, Prof. Shiro Armstrong, Prof. Janine O’Flynn, dan Bec Colvin dari Crawford School of Public Policy ANU.
Prof. Sara Bice membuka sesi dengan membahas transisi energi di Australia, menggarisbawahi pentingnya rencana terintegrasi untuk mengalihkan Australia ke energi terbarukan pada tahun 2050. Beliau menekankan bahwa transisi energi tidak hanya tentang menciptakan sumber energi baru seperti matahari dan angin, tetapi juga tentang perubahan ekonomi nasional yang mengurangi ketergantungan pada bahan bakar fosil.
Bice juga memaparkan hasil riset timnya tentang keterlibatan masyarakat dalam proyek infrastruktur besar. Sejak 2018, survei menunjukkan bahwa tekanan dari pemangku kepentingan dan masyarakat, isu regulasi dan perencanaan, serta pendanaan proyek adalah faktor-faktor paling berpengaruh dalam pelaksanaan proyek. Sebaliknya, isu teknis dan akses ke keahlian teknis dianggap kurang berdampak. Hal ini menunjukkan bahwa aspek teknis sudah cukup dikuasai, namun keterlibatan masyarakat dan pemangku kepentingan perlu ditingkatkan.
Bec Colvin menyoroti kompleksitas sosial yang muncul dalam transisi energi, khususnya di daerah-daerah regional Australia. Beliau menekankan pentingnya partisipasi masyarakat yang bermakna dan bukan hanya simbolis. Colvin juga membahas tantangan dalam menyeimbangkan manfaat lokal dengan isu-isu seperti keterjangkauan energi. Keterlibatan lokal sering kali meningkatkan biaya bagi sistem secara keseluruhan, sehingga perlu ada navigasi yang baik untuk mengatasi dampak distribusi dari transisi energi.
Prof. Deendarlianto menyampaikan pandangan akademis mengenai program transisi energi di Indonesia. Beliau menyoroti adanya kebijakan energi nasional yang diatur dalam Peraturan Pemerintah No. 79 tahun 2014. Namun, implementasi di lapangan masih sangat lambat, terutama karena isu tata kelola yang sentralistis.
Beliau menekankan pentingnya mengatasi masalah tata kelola dengan memperhatikan peran birokrasi dalam mendukung transisi energi. Salah satu proyek yang sedang dikerjakan adalah inisiatif pensiun dini untuk pembangkit listrik berbasis batu bara. Namun, kemajuan proyek ini sangat lambat karena energi masih dianggap sebagai urusan opsional oleh pemerintah daerah, sehingga perhatian terhadap pengembangan energi terbarukan kurang optimal.
Dr. Gabriel Lele menyoroti perbedaan kinerja transisi energi di tingkat lokal dan nasional. Meskipun ada komitmen yang kuat, kinerja di lapangan sangat beragam. Dr. Lele juga membahas pentingnya tata kelola dalam transisi energi. Beliau membedakan antara tata kelola yang sentralistik dan yang terfragmentasi, serta bagaimana hal ini mempengaruhi dinamika dan kemajuan transisi energi.
Workshop ini menggarisbawahi pentingnya keterlibatan masyarakat dan tata kelola yang efektif dalam mendukung transisi energi. Kolaborasi antara UGM dan ANU ini diharapkan dapat memberikan wawasan dan solusi yang lebih baik untuk menghadapi tantangan transisi energi, baik di Indonesia maupun Australia. Para pembicara sepakat bahwa meskipun aspek teknis dari transisi energi sudah cukup dikuasai, aspek sosial dan tata kelola masih memerlukan perhatian lebih untuk memastikan keberhasilan transisi energi yang adil dan berkelanjutan.