Politik dan Kemanusiaan, Oleh: Fahmi Muhammad

advanced divider

Oleh: Fahmi Muhammad, Mahasiswa Program Pascasarjana DMKP, Angkatan 2017

Diterbitkan pada Mimbar Mahasiswa Detik.com, Rabu 17 Oktober 2018, 15:30 WIB

 

Politik selalu dicitrakan sebagai barang kotor. Soe Hok Gie mengatakan, politik adalah barang yang paling kotor, lumpur-lumpur yang kotor. Tapi, suatu saat ketika kita tidak dapat menghindari diri lagi, maka terjunlah. Kita tahu bahwa lumpur adalah tempat yang selalu dihindari. Bahkan anak kecil pun selalu dilarang main di lumpur. Kecuali beberapa orang terpaksa turun ke lumpur karena dibenturkan dengan kebutuhan hidup, mengandalkan nafkahnya dari lumpur seperti petani di sawah, tukang bata merah, tukang genteng, dan profesi yang berhubungan dengan lumpur. Nyemplung ke lumpur bagi sebagian orang dilakukan karena terpaksa.

Kondisi panggung politik terkini Indonesia menyuguhkan akrobat yang sangat berbahaya, membuat para penonton tegang bahkan tak mau lagi menonton pertunjukan tersebut, apalagi terlibat sebagai aktor. Sebagai contoh dapat kita lihat di media sosial begitu mudahnya mengkafirkan, menyalahkan, menuduh sesat, bahkan menyebar kabar hoaks sudah menjadi kebiasaan. Hal tersebut juga dilakukan oleh para elite dalam berbagai talkshow yang diselenggarakan di beberapa televisi nasional.

Jika melihat fenomena di atas, politik sangat jauh dari rasa kemanusiaan. Kita dapat melihat fenomena di mana manusia memakan saudaranya sendiri. Padahal seharusnya politik merupakan alat untuk mengabdi pada kemanusiaan, bukan menghamba pada kekuasaan. Meminjam pendapat Aristoteles bahwa politik adalah usaha yang ditempuh warga negara untuk mewujudkan kebaikan bersama, bukan malah memperkeruh suasana.

Namun, kita tidak perlu risau dengan politik dan menjadi apolitis. Karena beberapa pemimpin dunia seperti Gandhi dari India dan Nelson Mandela dari Afrika Selatan dapat mengubah wajah bengis politik menjadi manis. Bahwa politik tidak sepenuhnya kotor, politik tidak sepenuhnya jahat, dan politik juga dapat memanusiakan manusia.

Di Indonesia sendiri kita mengenal sosok KH. Abdurrahman Wahid dengan sapaan akrab Gus Dur. Gus Dur merupakan politisi ulung, kiprahnya tidak dapat diragukan lagi terutama sejak tumbangnya rezim Orde Baru. Gus Dur turut serta mendirikan partai politik yang mengantarkannya hingga ke singgasana orang nomor satu di Indonesia.

Selain itu Gus Dur juga dikenal sebagai bapak bangsa yang gigih dan konsisten dalam memperjuangkan kemanusiaan, membela kaum minoritas, dan menentang segala bentuk penindasan di muka bumi. Sebagai politisi yang santri rupanya ia berprinsip “kemanusiaan lebih penting daripada politik”. Walaupun sepak terjangnya tak jarang menuai kontroversi terutama di kalangan lawan-lawan politiknya.

Gus Dur, Gandhi, dan Mandela merupakan contoh tokoh yang berhasil memadukan dua kutub yang dianggap berseberangan, yaitu politik dan kemanusiaan. Belajar dari mereka, seorang pemimpin yang bisa memimpin bukan perkara mudah. Jika ingin menjadi ksatria yang perkasa, mempunyai kesaktian dan tak dapat dikalahkan, harus digembleng terlebih dahulu di Kawah Candradimuka.

Kawah candradimuka adalah kawah yang terdapat di alam kahyangan seperti disebutkan dalam kisah pewayangan. Kisah tersebut menggambarkan bahwa untuk menjadi pemimpin yang kuat, yang berjiwa kesatria membutuhkan proses yang lama dan berjenjang, bukan karbitan seperti kebanyakan calon pemimpin hari ini.

Tidak cukup sampai di situ seorang pemimpin juga harus mempunyai komitmen yang tak tergoyahkan oleh badai apapun. Komitmen politik, visi dan misi yang jelas, dan konsistensi merupakan prasyarat penting untuk melakukan perubahan. Karena politik itu ibarat permainan bola, prediksinya bisa menang namun hasilnya kalah. Begitu pula dalam proses kepemimpinan, tujuan awalnya bisa baik tapi akhirnya bisa buruk, lagi-lagi semuanya tergantung pada komitmen sang pemimpin.

Agar proses kepemimpinan berjalan dengan baik, seorang pemimpin butuh bekerja sama dengan banyak pihak atau saat ini kita kenal dengan istilah kolaborasi. Seorang pemimpin tidak mungkin berjalan sendirian, butuh dukungan untuk mewujudkan komitmennya. Dan, itu hanya dapat dilakukan jika pemimpin tersebut mampu berkolaborasi dengan siapapun, termasuk dengan lawannya sekalipun.

Pemimpin maupun calon pemimpin yang akan datang perlu belajar dan meneladani Gandhi, Mandela, dan Gus Dur bahwa kekuasaan bukan segalanya. Ada yang lebih penting daripada itu, yaitu kemanusiaan. Minimal yang harus dilakukan adalah bagaimana cara mendapatkan kekuasaan, dan memperlakukan masyarakat sebagai konstituen utama dalam berdemokrasi dengan cara yang beradab, tidak menghalalkan segala upaya.

Pemimpin dan calon pemimpin harus sadar bahwa yang mereka kemudikan tidak hanya sekoci kecil, melainkan kapal besar yang bernama Indonesia.

advanced divider