Pemilu tahun 2024 memperlihatkan adanya pergeseran demografi pemilih, dimana pemilih yang termasuk dalam kategori pemilih muda secara kuantitatif mencapai 56,45% dari seluruh DPT yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU). Angkat tersebut memunculkan keprihatinan karena pemuda cenderung didefinisikan sebagai simbol partisipatif daripada sebagai agen perubahan yang perlu didorong sebagai subjek politik. Survei Centre for Strategic and International Studies (2022) menunjukkan sekitar 59% pemuda mengandalkan media sosial sebagai sumber utama informasi pemilu, meskipun media sosial sering gagal menyajikan informasi yang valid mengenai rekam jejak kandidat (Fernandes et al., 2023). Namun, media sosial KPU yang seharusnya menjadi sumber valid, perannya cenderung pada publikasi liputan harian dan informasi yang lebih bersifat teknis dalam pemilu.
KPU sebagai lembaga publik yang independen perlu menjadi lebih publik dengan publikasi informasi lebih substansial daripada informasi yang cenderung biroktatis. Oleh karena itu, KPU perlu mengubah paradigma dan memperlakukan pemuda sebagai subjek politik yang dapat berpikir kritis, salah satu caranya adalah secara terbuka memberikan informasi profil dan rekam jejak para peserta pemilu dan mendorong peserta pemilu serius mempublikasikan perhatiannya terhadap isu-isu yang menjadi persoalan publik. KPU juga perlu mempertimbangkan segmentasi pemilih di kalangan generasi pemuda, seperti segmen pemilih muda rasional, pemilih muda yang menyukai politik ringan dan sederhana dengan berselancar di media sosial, dan pemilih muda yang terafiliasi secara ideologis dengan organisasi kepemudaan, khususnya dalam mendesain konten publikasi yang akan menjadi public space dan public sphere anak muda dalam mengadopsi informasi yang valid, sekaligus mendorong generasi muda terlibat sebagai Smart Digital Activism.
Penulis (Mahasiswa S2 DMKP):
Muhammad Ishak, Khairul Umam, R. Tinon Hastho Ririh Angelia Puspita Nugraheni, Vania Zauhair, Yosua Rama Mada Krisna Purnama, Fikri Setiawan, Nila Safrida.