Fenomena “Gugur Massal” Tes CPNS 2018, Oleh Septa Adi Prasetya

advanced divider

Oleh: Septa Adi Prasetya, Mahasiswa Program Pascasarjana DMKP, Angkatan 2017

Diterbitkan pada Kolom Detik.com, Senin 19 November 2018, 13:56 WIB

 

Seleksi Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) Tahun 2018 sedang berlangsung. Terlihat antusiasme masyarakat sangat tinggi untuk mencoba peruntungannya melamar pekerjaan sebagai abdi negara. Tingginya minat masyarakat untuk mengikuti seleksi CPNS ini menunjukkan bahwa pekerjaan sebagai abdi negara masih menjadi primadona di tengah masyarakat Indonesia. Banyak faktor yang melatarbelakangi mengapa CPNS masih diminati banyak orang, salah satunya adalah kepastian penghasilan. Selain itu, jaminan akan mendapatkan pensiunan juga menjadi daya tarik tersendiri sehingga mereka berbondong-bondong untuk melamar sebagai abdi negara.

Sebagai tahapan awal, proses seleksi administrasi telah dilalui para pelamar CPNS. Tercatat lebih dari 3,6 juta pelamar telah mendaftar untuk ikut dalam proses seleksi, meskipun 9,8% di antaranya dinyatakan tidak memenuhi syarat administrasi dan tidak dapat melanjutkan proses seleksi selanjutnya. Mereka yang telah lolos seleksi administrasi kemudian berhak mengikuti tahapan selanjutnya yaitu Seleksi Kompetensi Dasar (SKD) untuk bersaing memperebutkan formasi-formasi yang telah disediakan, dengan total formasi sebanyak 238.015.

Dalam SKD, setiap peserta ujian CPNS dihadapkan pada 100 soal yang terdiri dari 3 (tiga) subtes yaitu Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) 35 soal, Tes Intelegensia Umum (TIU) 30 soal, dan Tes Karakteristik Pribadi (TKP) 35 soal. Metode pengerjaan soal dilakukan menggunakan sistem berbasis komputer yang disebut CAT (Computer Assisted Test), sehingga hasil ujian dapat dilihat secara real time dan lebih transparan dimana hasil ujian tersebut akan disaring berdasarkan passing grade yang telah ditentukan untuk menentukan lulus atau tidaknya peserta ujian. Sebagaimana diketahui, untuk passing grade tahun ini sama dengan seleksi CPNS Tahun 2017, yaitu 75 (TWK), 80 (TIU), dan 143 (TKP).

Permasalahan yang muncul saat ini adalah banyak dari peserta ujian CPNS yang kemudian tidak lolos pada tahapan SKD ini. Tercatat, hanya 8% dari total peserta SKD yang memenuhi passing grade, jauh dari target yang diharapkan. Permasalahan tersebut akan berdampak pada kosongnya formasi-formasi yang dibutuhkan karena sudah banyak yang gugur, padahal masih ada tahap berikutnya yang harus dilalui. Hal ini yang kemudian menjadi sebuah fenomena “gugur massal” dan menjadi pertanyaan besar, apa yang menyebabkan tingkat kelulusan SKD tersebut menjadi sangat rendah?

Dari kejadian tersebut kemudian muncul asumsi-asumsi terkait dengan rendahnya tingkat kelulusan SKD. Beberapa pihak mengatakan bahwa hal tersebut akibat dari adanya kebijakan passing grade yang terlalu tinggi sehingga menyebabkan jumlah peserta ujian SKD yang lolos menjadi rendah. Beberapa peserta ujian juga mengatakan bahwa soalnya sangat sulit, khususnya pada subtes TKP karena pilihan jawabannya mirip-mirip dan mengecoh. Selain itu, peserta lain juga menilai bahwa waktu yang diberikan untuk mengerjakan soal sangat singkat sehingga waktu yang digunakan untuk mengerjakan seluruh soal pun dirasa tidak cukup.

Kompetensi atau Kepribadian?

Jika dikaitkan kembali pada tujuan utama dari diselenggarakannnya SKD sebagai tahapan lanjut dari seleksi administrasi untuk menyaring kompetensi dasar CPNS, pertanyaan yang muncul kemudian adalah apa yang sebenarnya ingin diuji dari tahap ini? Apakah untuk menguji kompetensi (dasar) atau menguji kepribadian?

Jika hanya ingin menyaring kompetensi yang sifatnya dasar, sangat tidak fairjika pada tahap tersebut disisipkan subtes TKP karena akan menjadi judging people too quickly ketika menilai karakteristik pribadi seseorang hanya dengan 35 pertanyaan. Apalagi jika dalam soal-soal TKP tersebut mencakup materi seperti aspek integritas, kejujuran, toleransi, dan tanggung jawab. Di mana aspek-aspek tersebut lebih bersifat kualitatif, yang akan sulit jika digambarkan hanya dengan angka atau skor tanpa metode-metode yang teruji secara ilmiah.

Sebagai gambaran, kita coba bandingkan dengan sistem seleksi pegawai di perusahaan-perusahaan swasta atau mungkin BUMN pada umumnya. Mereka lebih memilih menggunakan metode yang lebih komprehensif untuk mengukur karakteristik kepribadian calon pegawainya. Yakni, melalui suatu tahapan tersendiri yang biasa disebut sebagai tahapan psikotes, dan umumnya akan diperkuat dengan wawancara (interview) untuk crosscheck terhadap validitas dan kesesuaian dengan hasil psikotesnya.

Beberapa contoh metode psikotes seperti tes logika penalaran, Wartegg Test, Edward Personal Preference Schedule (EPPS), Kraepelin/Pauli TestMinnesota Multiphasic Personality Inventory (MPPI), dll mungkin akan lebih memberikan gambaran karakteristik kepribadian yang lebih menyeluruh, meskipun pada kenyataannya banyak yang mempertanyakan tentang transparansi dari hasil psikotes tersebut karena pada umumnya hasil naratif dari psikotes untuk proses rekrutmen pegawai tidak diberikan kepada peserta tes. Meskipun demikian, metode tersebut dinilai lebih memberikan gambaran karakter seseorang yang lebih komprehensif dari berbagai sisi seperti gambaran umum karakteristik pribadi, ketahanan kerja, motivasi, ketelitian, preferensi, dan pastinya kesesuaian antara karakteristik pribadi dengan pekerjaan yang dilamar.

Kembali pada substansi dari SKD itu sendiri, jika memang tujuan akhirnya untuk mencari generasi aparatur negara yang profesional dan memiliki daya saing yang tinggi, alangkah lebih baik jika materi SKD lebih diarahkan kepada bagaimana mencari calon aparatur negara yang memiliki kompetensi dasar yang mendukung pekerjaannya nanti. Seperti, kemampuan atau potensi akademik, kemampuan dasar teknologi informasi, kemampuan dasar bahasa asing, pengetahuan tentang isu-isu nasional terkini, dan wawasan global.

Terkait pentingnya pengujian karakteristik pribadi, jika memang menjadi bagian dari kompetensi dasar seseorang harusnya menjadi pertimbangan lain yang mungkin dapat dilakukan secara terpisah dari proses penilaian SKD agar menghasilkan gambaran kepribadian CPNS yang lebih komprehensif tanpa mengorbankan hasil dari SKD itu sendiri.

Tidak Fair

Banyaknya peserta yang gugur pada tahap SKD ditengarai sebagai akibat dari sulitnya soal pada subtes TKP. Banyak peserta yang nilainya anjlok pada subtes ini. Gambaran singkatnya, soal TKP merupakan tipe soal yang tidak memiliki jawaban benar atau salah namun memiliki tingkatan skor pada masing-masing pilihan untuk melihat kecenderungan karakter seseorang. Pilihan jawaban dalam soal TKP memiliki rentang poin antara 1 sampai 5, dengan kebanyakan pilihan yang ada terdiri dari pernyataan-pernyataan yang substansinya hampir mirip dan dinilai mengecoh.

Ketika prosedur ini digabungkan dengan materi TWK dan TIU hasilnya akan menjadi bias dan akibatnya sudah dapat diduga, banyak peserta ujian yang gugur karena passing grade yang ditentukan pada subtes TKP kemudian mengorbankan nilai-nilai pada subtes lain yang mungkin hasilnya cukup baik dan memenuhi passing grade pada masing-masing subtes tersebut.

Dari penjelasan tersebut kemudian muncul asumsi bahwa ada kerancuan dalam sistem penilaian pada tahapan SKD ini, khususnya pada subtes TKP. Akibatnya, banyak dari peserta ujian yang mungkin sebenarnya memiliki wawasan kebangsaan yang baik dan skor intelegensi umum yang mencukupi, pada akhirnya justru tidak lolos hanya karena gagal pada subtes TKP yang mana sebenarnya pengujian kepribadian ini dinilai kurang komprehensif jika digunakan untuk menilai karakteristik seseorang, apalagi untuk menilai kesesuaian antara karakteristik pribadi tersebut dengan jabatan yang akan dilamar.

Artinya, ada generalisasi yang juga dinilai tidak fair yang dilakukan pada penilaian TKP jika menggunakan metode skoring, padahal jabatan-jabatan yang dilamar memiliki karakteristik yang berbeda, bukan besar atau kecilnya skor tetapi sesuai atau tidaknya dengan kecenderungan kepribadian.

Dari pengamatan lain yang juga menarik misalnya, ada satu mahasiswa pascasarjana perguruan tinggi negeri terbaik yang juga penerima beasiswa bergengsi di Indonesia yang mengikuti seleksi CPNS tahun ini, ternyata hasilnya tidak lolos –dan, memang benar tidak lolosnya adalah pada subtes TKP.

Logika awamnya, peserta tersebut mungkin telah memiliki pengalaman seleksi cukup ketat baik pada aspek kemampuan intelegensi maupun karakteristik pribadi, dan pada tingkat seleksi akademik maupun tingkat seleksi penerimaan beasiswa di mana pada kedua proses tersebut sangatlah selektif. Namun, ketika peserta tersebut dihadapkan pada instrumen seleksi lain yang mungkin tidak kalah selektif ternyata gagal. Hal ini yang kemudian menjadi pertanyaan beberapa pihak, di mana letak kesalahannya?

Berangkat dari persoalan ini, menjadi penting bagi kita untuk membangun sebuah kritik terkait dengan kebijakan-kebijakan dan prosedur seleksi CPNS tahun ini agar menjadi bahan masukan dan perbaikan. Jika memang tujuan utamanya adalah untuk mencari generasi aparatur negara yang lebih profesional, berintegritas, dan memiliki daya saing yang tinggi, sudah sepatutnya prosedur dan instrumennya pun juga harus menyesuaikan dengan perubahan zaman.

Sudah saatnya lingkungan birokrasi diisi oleh generasi-generasi milenial, bukan lagi generasi kolonial. Gunakanlah “jaring” emas jika memang ingin menambang emas, bukan menggunakan “jaring” ikan yang pada akhirnya hanya akan menyisakan kerikil-kerikil dan batu, dan justru mengikhlaskan emas yang sesungguhnya untuk terhanyut begitu saja. Dengan demikian, diharapkan bahwa calon-calon aparatur negara yang terpilih nantinya adalah peserta-peserta yang memang terpilih sesuai dengan yang diharapkan, memiliki kompetensi dasar yang mencukupi, dan kompetensi bidang yang sesuai dengan jabatan dan pekerjaannya.

advanced divider